BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Islam adalah sebuah agama yang mengatur umatnya agar dapat mendapatkan
ketenangan dan ketentraman dalam menjalani kehidupan di dunia. Di dalam Islam terdapat rukun-rukun
Islam yang harus dipenuhi atau di jalankan oleh umatnya yaitu menyaksikan tiada
tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menunaikan ibadah puasa, dan ibadah haji bagi yang mampu.
Dari kelima rukun Islam tersebut perlu di bahas satu persatu, akan tetapi dalam
makalah ini memilih satu konten pembahasan yaitu puasa. Puasa merupakan bentuk
amalan ibadah yang dilakukan oleh seluruh umat manusia, mulai sejak zaman
sebelum nabi mehammad di utus sampai sekarang.
Puasa dalam Islam memiliki beberapa syarat dan rukun dalam
pelaksanaannya.Oleh sebab itu kita harus paham dengan hal-hal yang berkaitan
ibadah puasa secara menyeluruh agar ibadah puasa kita diterima oleh Allah swt.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan puasa, syarat dan
rukun puasa?
2. Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa dan
macam-macam puasa?
3. Apa saja sunnah puasa?
4. Apa hikmah dari puasa ?
1.3 Tujuan
1. Mengerti tentang puasa beserta syarat dan
rukunnya.
2. Mengerti hal-hal yang membatalkan puasa dan
macam-macam puasa.
3. Mengerti sunnah puasa.
4. Mengerti tentang hikmah-hikmah puasa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Puasa
Secara etimologi puasa (shaum) berarti
menahan.Sedangkan menurut terminologi adalah menahan diri dari makan, minum,
jima’ dan semua yang membatalkan puasa dengan niat beribadah kepada Allah sejak
terbitnya fajar (Shadiq) sampai terbenamnya matahari dengan syarat dan rukun
tertentu.[1]
2.2 Syarat-syarat
Puasa
Penjelasan tentang syarat-syarat puasa ini kami ambil dari buku yang
sama yaitu Puasa dan Iktikaf (Kajian berbagai Madzhab) karangan Wahbah Al-Zuhaily.
2.2.1
Syarat Wajib Puasa
Para fuqaha’ mengajukan lima syarat untuk
wajib puasa antara lain;
1) Islam
Menurut madzhab Hanafi, Islam merupakan syarat-wajib, sedangkan menurut
jumhur, Islam merupakan syarat-sah.Dengan demikian puasa tidak diwajibkan atas
orang kafir.Menurut kelompok pertama, (madzhab Hanafi), orang kafir tidak di
tuntut untuk mengqadha’ puasa (jika dia masuk Islam). Puasa orang kafir,
menurut kelompok kedua, hukumnya sama sekali tidak sah, meskipun dia murtad;
dia tidak berkewajiban dalam mengkadha’ puasa.
Menurut madzhab Hanafi, orang kafir tidak dikanahi kewajiban yang
berkenaan dengan cabang-cabang syariat, yang merupakan ibadah.Adapun menurut
jumhur, orang kafir-ketika mereka berada dalam kekafiran-dikenahi kewajiban
yang berkaitan dengan cabang-cabang syariat.Maksudnya mereka wajib memeluk
agama Islam, kemudian berpuasa.Puasa tidak sah sebelum mereka masuk Islam,
karena puasa merupakan ibadah langsung kepada Allah yang bersifat fisik (ibadah
badaniyah mahdho)yang memerlukan niat; sedangkan salah satu syarat niat
adalah Islam, seperti halnya shalat.Akan tetapi mereka tidak di tuntut mengerjakan
cabang-cabang syariat sewaktu mereka kafir.
Perbedaan pendapat tersebut di atas, pada akhirnya terfokuskan pada
masalah pelipat gandaan adzab di akhirat. Menurut madzhab Hanafi azab untuk
orang kafir di akhirat adalah satu, sedangkan menurut jumhur, azab mereka
dilipatgandakan; pertama, azab karena kekafiran mereka,dan kedua, azab karena mereka tidak melaksanakan taklif
syarak.
Jika seorang yang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, dia harus
berpuasa pada hari-hari yang masih tersisa dalam bulan tersebut.Dan menurut
kesepakatan ulama’, ia tidak harus mengqadha’ puas-puasa yang telah lewat.
Pendapat ini berdasarkan ayat berikut:
Kewajiban qadha’ bagi mereka akan
menyebabkan mereka lari dari Islam. Adapun keluar dari Islam (ridda)
menyebabkan puasa tidak sah; berdasarkan firman Allah swt sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi, jika dia masuk Islam pada pertengahan hari, dia
harus menahan diri selama hari yang masih tersisah dan wajib
mengqadha’nya.Karena, dia telah berada pada sebagian waktu ibadah.Dengan
demikian, hari itu menjadi wajib atas dirinya apabila dia memenuhi sebagian
waktu shalat.
Menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, orang kafir yang masuk Islam
pada pertengahan siang puasa maka disunahkan menahan diri dari makan.
Tujuannya, untuk memelihara kehormatan atau hak waktu, dengan cara menyerupai
orang yang puasa. Menurut madzhab Maliki, penyunahan hal ini sama dengan
penynahan mengqadha’ puasa pada hari tersebut.Sedangkan menurut madzhab Hanafi,
mengkadha’ puasa tersebut tidak wajib hukumnya.
Menurut madzhab Syafi’i, pendapat yang paling shahi mengemukakan bahwa
orang kafir yang masuk islam pada pertengahan siang di bulan puasa tidak wajib
mengqadha’ puasanya pada hari tersebut.
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, berlainan halnya jika seorang yang
murtad masuk Islam.Dia wajib mengqadha’ puasa selama masa kekafirannya, sebab
puasa menjadi wajib karena keislamannya.Kewajiban itu menjadi gugur karena
ridda-nya, seperti tidak gugurnya kewajiban memenuhi hak-hak manusia.
2). dan 3).
Baligh dan Berakal
Puasa tidak wajib bagi anak kecil, orang
gila, orang pingsan dan orang yang mabuk, karena mereka tidak di kenahi Khitab
taklifi, maka mereka tidak berhak untuk puasa. Orang yang akalnya,ingatanya
hilang tidak dikenahi kewajiban dalam berpuasa. Dengan demikian puasa yang
dilakukan oleh orang gila, pingsan dan mabuk tidak akan sah.
Akan tetapi puasa yang dilakukan oleh anak
kecil yang mumayis, hukumnya sah, seperti halnya shalat.Wali anak tersebut
menurut madzhab Syafi’i, Hanafi dan Hanbali, wajib untuk menyuruhnya berpuasa
ketika dia berusia tujuh tahun.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak kecil tidak perlu untuk disuruh
berpuasa.Lain halnya dengan shalat.Anak kecil tidak berkewajiban berpuasa
sampai dia bermimpi.
Menurut madzhab Hanafi, jika seorang anak kecil mencapai usia balig pada
pertengahan hari puasa, dia mesti menahan diri, seperti halnya orang kafir yang
masuk Islam. Setelah itu (anak kecil) tadi wajib berpuasa pada hari-hari
berikutnya.Dan dia juga tidak wajib mengqadha’ puasa sebelumnya.
Menurut madzha Hanafi, orang yang pingsan pada pertengahan hari, tidak
perlu mengqadha’ puasanya pada hari itu.Adapun pada hari-hari berikutnya jika
dia masih pingsa dia wajib mengkadha’ puasa karena pada hari- hari sesudahnya
dia tidak berniat berpuasa pada malam harinya, maka dia wajib mengkadha’ esok
harinya.
Jika orang gila sadar pada bulan Ramadhan, maka dia harus mengkadha’
pada hari-hari Ramadhan yang telah lewat.Jika penyakit gila itu terjadi pada
waktu yang memungkinkan untuk orang gila untuk berpuasa, dia tidak mengkhadha’
pausa karena kesulitan.
Kesimpulan, pada dasarnya, pingsan dan gila yang terputus tidak
menghilangkan kewajiban berpuasa dan mengqadha’nya. Adapun gila yang terjadi
pada semua bulan, maka pelakunya tidak perlu untuk mengqadha’ puasa, sedangkan
pingsan di dalamnya terdapat hukum qadha’, sama halnya dengan mabuk.
Menurut Jumhur,
penyakit gila yang berkesinambungan tidak mewajibkan qadha’, sedangkan menurut
madzhab Maliki yang masyhur, penyakit gila seperti itu wajib mangqadha’. Adapun
pingsan, menurut kesepakatan para ulama’, mewajibkan qadha’.
Madzhab Syafi’i
dan Maliki berpendapat bahwa puasa orang yang pingsan yang sempat sadar pada
sebagian waktu siang hukumnya sah.Tetapi, jika pingsan itu berlangsung sepanjang
hari, puasanya tidak sah. Menurut Madzhab Hanafi, puasa orang pingsan hukumnya
sah secara mutlak, sedangkan menurut madzhab Maliki puasa orang pingsan
hukumnya tidak sah, kecuali jika orang tersebut pingsan dalam waktu yang
singkat, seperti setengah hari atau kurang setengah hari.
4). dan 5). Mampu (Sehat) dan Berada di Tempat Tinggal (Iqamah)
Puasa tidak diwajibkan atas orang yang sakit atau musafir.Walaupun
demikian, mereka wajib mengqadanya.Kewajiban mengqada puasa bagi keduanya ini
telah disepakati oleh para ulama’.Tetapi, jika keduanya ternyata berpuasa,
puasanya dipandang sah. Dalilnya ialah ayat yang artinya sebagai berikut:
“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik
baginya.dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah; 184)
Jika seorang musafir telah tibah di daerahnya, dia harus menahan diri
dari makan dan minum selama waktu yang tersisah. Hal ini sama dengan kasus
seorang wanita haid yang telah suci pada pertengahan siang.
Puasa tidak di wajibkan atas orang yang tidak mampu melakukannya karena
usia yang telah lanjut. Begitu juga, puasa tidak diwajibkan atas wanita haid,
wanita hamil, atau wanita menyusui, sebab secara syara’ dan secara empiris
mereka dipandang sebagai orang yang lemah.
Syarat tidak wajib berpuasa atas musafir adalah perjalanan yang
membolehkan pengqasaran shalat dan menurut Jumhur selain madzhab Hanafi
perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang hukumnya mubah, bukan
haram.Sebab, keringanan atau rukhsa tidak boleh ditetapkan pada hal-hal yang
bersifat maksiat.Adapun menurut madzhab Hanafi mubahnya perjalanan tidak
menjadi syarat bagi tidak wajibnya berpuasa atas orang musafir, karena alasan
penerapan rukhsa ialah perjalanan itu.
Madzhab Hanafi menambahkan satu syarat wajib puasa yang lain, yaitu,
kewajiban puasa itu telah dipahami secara ushuliya, artinya, kewajiban puasa
itu telah diketahui secara sadar. Syarat ini ditunjukkan bagi orang yang masuk
Islam di medan pertempuran atau karena kalah atau bagi orang yang terlahir dan
tumbuh di daerah Islam.
2.2.2
Syarat Sah Puasa
Madzhab Hanafi mensyaratkan tiga hal untuk
kesahan puasa, yaitu;
1. Niat
2. Tidak ada hal yang menafikan puasa, baik
karena haid maupun nifas.
3. Tidak ada hal yang membatalkan puasa.
Jika seorang wanita mengeluarkan darah
haid, maka ia harus berbuka dan mengqadha’nya.
Madzhab
Maliki berpendapat bahwa syarat syah puasa ada empat:
1. Niat
2. Suci dari haid dan nifas
3. Islam, dan
4. Waktu yang layak untuk berpuasa. Puasa tidak sah dilakukan pada hari raya.
Mereka juga mengajukan syarat lain, yaitu
berakal. Puasa tidak sah dilakukan oleh orang gila dan orang yang pingsan.
Madzhab Syafi’i juga berpendapat syarat sah puasa ada empat:
1. Islam
2. Berakal
3. Suci dari haid dan nifas sepanjang siang,
serta
4. Berniat
Puasa tidak sah dilakukan oleh orang kafir,
orang gila, anak kecil yang belum mumayis, wanita haid dan wanita nifas .
Sedangkan menurut madzhab Hanbali, syarat puasa ada
tiga, yaitu:
1. Islam
2. Berniat
3. Suci dari hadast dan nifas
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa para ulama’ madzhab sepakat atas
persyaratan niat serta suci dari haid dan nifas.Adapun Islam dijadikan syarat
sah oleh jumhur, dan syarat-wajib oleh madzhab Hanafi, sebagaimana telah di
jelaskan di muka.
ü Suci dari Haid dan Nifas
Para fuqaha’ sepakat bahwa keterbebasan
dari hadas besar (jinabah) bukan merupakan syarat selama jinabah itu bisa
dihilangkan.Orang yang berada dalam keadaan junub pada pagi hari dan baru
bersuci (mandi) setelah terbit fajar, puasanya pada hari itu dipandang cukup
sah. Begitu juga wanita haid yang telah suci sebelum terbit fajar, tetapi baru
mandi setelah fajar terbit
ü Niat
Apakah niat termasuk syarat atau rukun?
Para fuqoha’ sepakat bahwa keberadaan niat dituntut
dalam setiap jenis puasa; baik puasa fardu maupun puasa sunnah, baik sebagai
syarat maupun sebagai rukun, (perlu diketahui bahwa syarat adalah sesuatu yang
di luar hakikat, sedangkan rukun, menurut Madzhab Hanafi adalah sesuatu yang
termasuk bagian dari hakekat).Kesepakan mereka ini berdasarakan hadist
Rasulullah sbb;
إِنَّمَا الأَعْمَلُ بِالنِّيَاتٍ
“Sesunggunya amalan-amalan itu ( harus disertai)
dengan niat)”
Madzhab Hanafi, Hanbali juga Maliki memandang
bahwa niat merupakan syarat, sebab puasa Ramadan dan yang lainnya merupakan
ibadah, ibadah adalah nama untuk suatu perbuatan hamba yang dilakukan atas
dasar kehendaknya dan ikhlas karena Allah, sedangkan kehendak dan keikhlasan
tidak akan terealisasi tanpa niat. Niat dimaksudkan untuk membedahkan antara
ibadah dan bukan ibadah.
Sedangkan menurut madhab Syafi’i, niat merupakan
rukun, sebagaimana halnya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.
2.2.3
Kesimpulan Pendapat dari Berbagai Madzhab mengenahi
Syarat-syarat Puasa
Menurut madzhab Hanafi, syarat puasa
ada tiga, yaitu, 1).Syarat wajib, 2).Syarat wajib pelaksanaan (ada’) dan
3).Syarat-sah pelaksanaan.
Syarat-wajib puasa ada empat:
1) Islam
2) Berakal
3) Baligh
4) Mengetahui kewajiban puasa bagi orang yang
masuk Islam di medan pertempuran atau yang berada di negeri Islam.
Barang siapa yang gila di bulan Ramadhan maka dia tidak perlu mengqadha’
puasanya.Jika dia sadar pada sebagian hari dalam bulan Ramadhan, maka dia harus
mengqadha’ puasa pada hari-hari yang terlewatkan saja.Adapun orang yang pingsan
selama bulan Ramadhan secara penuh maka wajib mengqadha’ puasanya.Namun orang
yang pingsan selama sehari dalam bulan Ramadhan tidak wajib mengqadha’ hari
tersebut.Karena dalam hari tersebut ia melakukan puasa, yaitu, menahan diri
dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat, sedangkan hari
berikutnya harus di qadha’.
Syarat-wajib pelaksanaan puasa ada dua:
1) Selamat dari penyakit, haid dan nifas.
Puasa tidak wajib dilaksanakan bagi orang yang sakit.
2) Bermukim. Puasa tidak wajib dilakukan oleh
seorang musafir. Akan tetapi mereka wajib mengqadha’ puasanya.
Adapun syarat-sah puasa ada tiga:
1) Niat, puasa tidak sah apabila tidak
disertai dengan niat
2) Tidak ada halangan puasa, seperti haid dan
nifas. Puasa tidak sah dilakukan oleh wanita yang sedang haid dan nifas, dan
mewajibkan kedunya mengqadha’ puasa.
3) Tidak ada hal yang membatalkan puasa
Madzhab Maliki
berpendapat bahwa syarat puasa ada tiga, yaitu: 1). Syarat wajib, 2). Syarat
sah, 3). Syarat wajib dan syarat-sah secara bersamaan, jumlahnya ada tujuh.
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Suci dari darah
5. Sehat
6. Bermukim
7. Niat
Syarat wajib
puasa ada tiga,
1. Baligh
2. Sehat
3. Bermukim (iqomah)
Puasa tidak wajib untuk anak kecil meskipun sudah menginjak
puberita.Anak kecil boleh saja berpuasa, tetapi tidak disunahkan, walinya tidak
wajib untuk menyuruhnya berpuasa.Puasa tidak diwajibkan untuk orang yang sakit,
lemah atau musyafir.Namun baik orang sakit, lemah, maupun musafir wajib
mengqadha’ puasa.
Syarat sah
puasa ada dua:
1. Islam, puasa tidak sah dilakukan oleh orang
kafir meskipun puasa diwajibkan atasnya.
2. Waktu yang layak untuk berpuasa, puasa
tidak sah dilakukan pada hari raya.
Syarat wajib
dan syarat sah secara bersamaan ada tiga:
1. Suci dari darah haid dan nifas. Puasa tidak
sah dan tidak wajib dilakukan oleh wanita yang haid dan nifas, dan kedunya
wajib mengqadha’nya ketika halangan itu selesai.
2. Berakal. Orang yang akalnya hilang tidak
diperintah untuk berpuasa. Puasa tidak wajib dan tidak sah dilakukan oleh orang
giladan orang yang pingsan. Adapun qadha’ atas orang gila yang sadar dari
penyakit gilanya-menurut pendapat yang masyhur-merupakan kewajiban secara
mutlak. Qadha’ juga wajib atas orang pingsan jika pingsannya berlangsung selama
sehari atau lebih. Akan tetapi, apabila dia pingsan dalam waktu yang singkat
setelah terbit fajar, qadha’ puasa tidak diwajibkan kepadanya.
3. Niat. Menurut pandangan yang rajih dan yang
dan paling jelas, niat merupakan syarat sah puasa karena niat adalah
penyengajaan terhadap susuatu.
Kesimpulan kewajiban puasa menjadi gugur
karena dua belas hal yaitu: anak kecil, gila, haid, nifas, pingsan, musafir,
keadaan sehat tetapi lemah dan tidak mampu berpuasa, selalu haus, sakit, hami,
menyusui, dan tua.
Madzhab Syafi’i, bahwa syarat puasa ada dua; 1). syarat-wajib dan
2). syarat-sah puasa.
Syarat wajib
puasa ada empat;
1) Islam. Orang kafir tidak wajib puasa,
seperti halnya shalat. Tetapi diakhirat kelak, dia akan disiksa karena tidak
berpuasa. Orang murtad wajib menkadha’ puasanya ketika dia masuk Islam lagi.
2) Balig. Puasa tidak wajib atas anak kecil,
baik pada waktu melaksanakan pada waktunya maupun mengkadha’nya. Ketika dia
berumur tujuh tahun, dia mesti diperintahkan berpuasa.
3) Berakal. Orang gila tidak diwajibkan
berpuasa, baik melaksanakan pada waktunya maupun mengkadha’nya. Tetapi, jika
penyakit gilanya terjadi karena sengaja, ia
wajib mengkadhanya. Orang mabuk dengan sengaja maka dia wajib
mengkadhanya. Sebaiknya orang mabuk secara tidak sengaja tidak diwajibkan
mengkadha’ puasanya.
4) Mampu. Puasa tidak wajib atas orang lemah.
Misalnya orang tua atau orang yang sakit yang kesembuhannya tidak bisa
diharapkan. Atau orang yang jika dia berpuasa, penyakitnya akan bertambah
parah.
Syarat-sah
puasa, juga dibagi menjadi empat:
1) Islam. Puasa tidak sah dilakukan oleh kafir
ashlyi, dan orang murtad.
2) Mumayis atau berakal sepanjang siang .puasa
anak kecil yang belum mumayis dan orang gila, hukumnya tidak sah. Hal ini
disebabkan karena ketidakadaan niat. Sedangkan anak kecil yang sudah mumayis,
hukumnya sah. Puasa tidak sah bila dilakukan oleh orang mabuk dan orang yang pingsan, tetapi menurut
pendapat yang jelas, mabuk dan pingsan yang terjadi sebentar tidak membatalkan
puasa. Begitu juga, menurut pendapat yang sahih, tidur yang dilakukan sepanjang
siang tidak membatalkan puasa.
3) Suci dari haid dan nifas sepanjang siang.
Puasa wanita haid atau nifas hukumnya tidak sah. Begitulah menurut kesepakatan
para ulama’. Sendainya di tengah puasa wanita mengeluarkan darah haid, nifas,
murtad dan gila maka puasanya batal.
4) Waktu yang layak untuk berpuasa. Puasa yang
dilakukan pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik hukumnya tidak sah. Begitu
juga pada hari syak. Puasa juga tidak sah dilakukan di pertengahan akhir bulan
syakban.
Niat termasuk rukun.Ia disyariatkan pada setiap hari.Niat wajib
dilaksanakan pada malam hari ketika puasa fardhu, tidak untuk puasa nafilah,
niat bisa odilakukan sebelum matahari tergelincir, dan wajib pula menentukan
jenis puasanya.Tetapi, dalam puasa fardu, kefarduan puasa tidak wajib
ditentukan dalam niat.
Madzhab Hanbali, mengatakan bahwa syarat puasa ada dua;
yiatu1).Syarat-wajib dan 2). Syarat-sah
Syarat wajib puasa ada empat;
1.
Islam. Puasa tidak wajib atas orang kafir, meskipun
hanya murtad. Sebab puasa merupakan ibadah badaniya yang memerlukan niat. Oleh
karena itu, sebagai halnya shalat, salah satu syarat puasa ialah Islam. Puasa
orang kafir atau orang murtad, hukumnya tidak sah. Seandainya orang Islam
keluar dari Islam ketika berpuasa maka puasanya batal.
Pendapat ini berdasarkan ayat yang artinya sebagai berikut:
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang
merugi”. (QS. Az-Zumar; 65)
Jika dia kembali ke Islam, dia harus
mengqadha puasa pada hari itu.
2.
Baligh. Puasa tidak wajib atas anak kecil meskipun dia sudah menginjak masa
puberitas.
3.
Berakal. Puasa tidak wajib bagi orang gila. Puasa
tidak wajib bagi anak kecil yang belum mumayis, seperti halnya shalat, dan
puasa sah dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayis. Adapun orang yang gila
selama sehari penuh atau lebih tidak mengqada’ puasanya. Jika Puasa yang
dilakukan oleh orang gila atau pingsan pada sebagian siang, hukumnya sah.
Dengan syarat, keduanya telah berniat pada malam hari.
4.
Mampu berpuasa. Puasa tidak diwajibkan atas orang yang
lemah misalnya orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuannya maka mereka
tidak diwajibkan berpuasa. Pendapat ini berdasarkan ayat yang artinya sebagai berikut:
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum
Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami
apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum
yang kafir."(QS. Al-Baqarah; 286)
Adapun orang yang sakit yang penyakitnya
bisa diharapkan sembuh, maka wajib melaksanakan puasa setelah sembuh dan
mengqada’ puasanya.
Menurut
madzhab ini syarat-sah puasa ada empat, yaitu:
1. Niat. Maksudnya, niat yang menentukan jenis
puasa yang akan dilakukan. Niat yang dilakukan pada malam hari untuk puasa yang
hukumnya wajib. Kewajiban ini tidak gugur karena lupa atau yang lainnya.
2. Suci dari haid dan nifas. Puasa wanita yang
haid dan nifas hukumny tidak sah. Bahkan hukumnya menjadi haram dilakukan oleh
mereka. Mereka wajib mengqada’ puasanya ketika sudah berhenti haid dan
nifasnya.
3. Islam. Puasa tidak sah dilakukan oleh orang
kafir, meskipun dia murtad.
4. Berakal. Yakni mumayis. Puasa tidak sah
dilakukan oleh anak yang belum mumayis, yakni anak yang belum mencapai usia
tujuh tahu.
2.3 Rukun-Rukun
Puasa
Rukun puasa ialah menahan diri dari dua macam syahwat;
yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan.Maksudnya, menahan diri dari segala
susuatu yang membatalkannya. Dalam hal ini, madzhab Maliki dan Syafi’i
menambahkan satu rukun yang lain, yaitu berniat yang dilakukan pada malam hari.[2]
Semua ulama’ berpendapat bahwa rukun puasa
ada 3 macam yaitu :
1. Niat
2. Menahan diri dari makan, minum dan jima’
3. Menahan diri dari segala yang membatalkan
puasa [3]
2.4 Hal-Hal yang
Membatalkan Puasa
Hal-hal yang membatalkan puasa ada 12 belas, semuanya ini kami ambil dari
buku fiqh 5 madzhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah. 12 hal tersebut yaitu :
1. Makan dan minum secara sengaja
Semua imam madzhab sepakat bahwa makan dan minum secara sengaja
membatalkan puasa akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kafaratnya.
Imamiyah dan Hanafi mewajibkan membayar kafarat. Syafi’I dan Hambali tidak mewajibkan
membayar kafarat.Sedangkan maliki mewajibkan untuk mengqodo’nya saja. Apabila
seseorang makan dan minum secara tidak sengaja maka tidak ada kewajibiban untuk
membayar kafarat dan mengqodonya.
2. Bersetubuh dengan sengaja
Semua imam madzhab sepakat bahwa orang yang melakukan persetubuhan pada
siang hari secara sengaja maka ia berkewajiban untuk membayar kafarat dan
mengqodo’ puasanya. Kafarat yang dimaksudkan disini adalah :
1) Memerdekakan budak
2) Melakukan puasa dua bulan secara
berturut-turut
3) Memberi mkan kepada orang miskin sebanyak
60
Apabila persetubuhn yang dilakukan oleh orang tersebut dengan tidak
sengaja maka puasanya tidak batal menurut Hanafi, Syafi’I dan Imamiyah. Sedangkan
menurut hambali dan Maliki puasanya batal.
3. Istimna’ (Mengeluarkan Mani dengan Sengaja)
Semua imam madzhab sepakat bahwa istimna’ dapat merusak puasa /
membatalkan puasa, mereka juga sepakat bahwa madzi yang keluar juga merusak
puasa.Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa melihat sesuatu yang dapat
membangkitkan gairah seks, mka dapat merusak puasa.
4. Muntah dengan Sengaja
Imamiyah, Syafi’i dan Maliki sepakat bahwa muntah dengan sengaja maka
merusak puasa dan wajib untuk mengqodo’nya.Menurut Hanafi muntah tidak
membatalkan atau merusak puasa dengan syarat muntahnya tidak memenuhu
mulut.Sedangkan menurut Hambali muntah dengan terpaksa maka tidak membatalkan
puasa.
5. Berbekam (Bercanduk)
Menurut Hambali berbekam dan dibekam dapat
membatalkan/ merusak puasa. Ulama’ yang lain tidak menyebutkan tentang ini.
6. Disuntik dengan yang Cairan
Semua imam madzhab sepakat bahwa disuntik
dengan yang cair membatalkan puasa dan wajib mengqodo’nya.Imamiyah menambahkan
dengan kewajiban membayar kafarat dengan syarat orang yang disuntik tidak dalam
keadaan kritis.
7. Masuknya Debu Halus ke dalam Lubang Hidung
Masuknya debu ke lubang hidung dapat
membatalkan puasa berdasarkan pendapat Imamiyah. Imamiyah menjelaskan bahwa masuknya debu
ke dalam tubuh manusia melalui lubang hidung lebih cepat dari pada suntikan.
8. Bercelak
Menurut Maliki bahwa bercelak pada siang
hari dan dia dapat merasakan rasa celak sampai pada kerongkongan maka dapat
membatalkan Puasa.
9. Membatalkan Niat
Menurut Imamiyah dan Hambali orang yang
sedang puasa berniat untuk berbuka puasa tetapi pada kenyataannya dia tidak
berbuka kemudian hanya berbekam sampai waktu maghrib maka puasanya batal. Ssedangkan
menurut madzhab yang lain puasanya tidak batal.
10. Menyelamkan Seluruh Badan kedalam Air
Selain mazdhab Imamiyah menyatakan bahwa
menyelam tidak membatalkan puasa sedangkan Imamiyah menyatakan dengan tegas
bahwa menyelam membatalkan puasa dan dia wajib mengqodo’ serta membayar
kafarat.
11. Melamakan Diri dalam Keadaan Junub
Imamiyah menyatakan bahwa berlama-lama
dalam keadaan junub hingga terbitnya fajar maka puasanya batal, wajib mwngqodo’
dan membayar kafarat.Sedangkan menurut madzhab yang lain tidak membatalkan
puasa dan tidak ada kewajiban mengqodo’ atau membayat kafarat.
12. Berbohong kepada Allah dan Rasul
Berbohong disini yaitu menyampaikan sesuatu
yang bersumber dari Allah dan Rasul tidak sesuai dengan keadaan yang asli.Oleh
dasar inilah Imamiyah menyakan Bahwa orang yang berbohong kepada Allah dan
Rasul sedangkan ia dalam keadaan puasa maka seketika itu puasanya batal dan
wajib mengqodo’ serta membayar kafarat.
2.5 Macam-macam
Puasa
1. Puasa Fardlu
Puasa
jenis ini terdiri dari tiga macam: (1) puasa yang diwajibkan karena waktu
tertentu, yakni puasa pada bulan Ramadhan, (2) puasa yang diwajibkan karena
suatu sebab (;illat), yakni puasa kafarat,
dan (3) puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa kepada dirinya
sendiri, yakni puasa nazar.
Puasa-lazim menurut madzhab Hanafi, ada dua macam, yaitu:
(1)
Puasa-fardhu dan
(2)
Puasa-wajib.
Puasa fardhu terdiri atas dua macam, yaitu: (1) fardhu mu’ayyan (yang ditentukan),
seperti puasa Ramadhan yang harus dilakukan tempat pada waktunya (ada’); (2) fardhu ghair mu’ayyan (tidak ditentukan) seperti puasa Ramadhan
yang dilakukan dengan qadha karena
suatu uzur dan puasa kafarat. Meskipun demikian, puasa ghair mu’ayyan yang disebut terakhir ini (yakni puasa kafarat)
merupakan puasa yang difardhukan secara ‘amali
(perbuatan), bukan secara i’tiqadi (keyakinan).
Oleh karena itu, orang yang tidak melakukannya tidak dipandang kafir.
Adapun puasa wajib, juga terdiri atas dua macam, yaitu: (1) wajib mu’ayyan, seperti puasa nazar yang
ditentukan. (2) wajib ghair mu’ayyan,
seperti puasa nazar yang tidak ditentukan dan mengqadha puasa nafilah yang batal.
2. Puasa Tathowu’
a. Puasa fardlu terbagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu:[4]
1. Puasa Ramadlon
Dasar perintah melaksanakan puasa Ramadlon
adalah QS. Al-Baqarah ayat 183 yang artinya :
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
2. Puasa Kafarat
3. Puasa Nadzar
b. Sedangkan puasa Tathowu’ terbagi menjadi 8
macam yaitu :
1. Puasa 6 hari bulan Syawal
روي الجماعه إلا البخاري والنسائ. عَنْ أَبِي أَيُّوبٍ أَلاَنْصَارِي : أَن
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : " مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ فَكأنمَا صَامَ الدَهر"
“Diriwayatkan secara
berjama’ah kecuali imam bukhori dan Nasa’i.dari sahabat Ayub al anshori,
bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda : barang siapa yang melakukan puasa
ramadlon kemudian \dilanjutkan pada bulan syawal sampai 6 hari
maka dia diumpamakan seperti puasa selama 1 tahun.”
2.
Puasa Arafah
عَنْ اَبِي قَتَادَةْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "صَوْمُ عَرَفَةَ
يُكَفِّرُسُنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً,
وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُوْرَا يُكَفِّرُسَنَةً مَا ضَيةً" رواه الجماعة
الا البخارىوالترمذى.
“Diriwayatkan dari Abi Qatadah ra, belia berkata bahwasanya Rasulullah
saw, puasa arafah dapat melebur dosa 2 taahun yang sudah lewat dan 2 tahun yang
akan datang, dan puasa asyura dapat melebur dosa selama 1 tahun yang sudah
lewat. (HR. jama’ah kecuali imam Bukhori dan Tirmidzi)
3.
Puasa Ashura
عَنْ ابِي هُرَيْرَةَ قالَ : سَئَلَ رَسُولُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : أَيُّ الصَلاة أَفْضَل بَعْدَ
المَكْتُوبَة؟قَالَ : الصَلاة فِي جوفٍ الَيْلِ,
قِيْلَ : ثُمَّ الصِيَامُ أَفْضَل بَعْدَ رَمَضَان ؟ قَالَ
: شَهْرٌ اللهِ الَّذِي تدعونَهُ
المُحَرَّم. رواه أحمد ومسلم وأبو داود.
“Dari abu hurairah ra. : rasulullah pernah ditannya : Shalat apakah yang
lebih utama setelah shalat maktubah ? Rasul menjawab : shalat yang dilakukan di
tengah-tengah malam. Kemudian beliau ditanya lagi : puasa apaah yang lebih
utama setelah puasa ramadlon ? Beliau menjawab : puasa pada bulan Allah yang
biasa kita kenal dengan nama Muharram.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)
4. Puasa Sya’ban
كانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ أكْثَرَ شَعْبَانِ.
قالتْ عَائِشَةَ : مَا رَأيْتُ
رَسُولُ
للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِسْتَكْمَلَ صِيَامَ
فَقَطْ, إِلاَ شَهْرِ رَمَضَانَ, وَمَا رَاَيْتُ
فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامَا فِي شَعْبَانَ. رواه البخاري ومسلم
“ Rasulullah saw melaksanakan puasa Sya’ban dengan jumlah yang banyak.
Aisyah berkata : saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melaksanakan puasa
sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadlon, dan saya tidak pernah melihat
Rasulullah memperbanyak puasa sunnah kecuali pada bulan Sya’ban. (HR. Bukhori
dan Muslim)
5. Puasa Hari Senin & Kamis
عن أبي هريرة : أن النَّبِيَّ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ كانَ أكثرَ مَا يَصُومُ الإَثنَيْنِ
وَالخَمِيْس,
فَقِيْلَ لَهُ : فقال : إِنَّ الأَعْمَالَ تعرض كل إثنَيْنِ وَخَمِيْس, فَغْفِرُالله
لكلِّ مُسْلِم, اَوْ لِكلِّ
مُؤْمِن, إِلا المُتَهَا جِرَيْنَ, فِيقولَ : أُخْرَهُمَا. رواه أحمد بسند
صحيح.
”Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Nabi saw memperbanyak puasa pada hari
senin dan kamis. Abu Hurairah bertanya tentang hal ini, maka Nabi menjawab :
sesungguhnya amal-amal itu diangkan dihadapan Allah adalah pada hari senin dan
hari kamis. Maka Allah mengampuni dosa setiap muslim atau setiap mukmin.
Kecuali orang yang sedang pindah . (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)
6. Puasa Hari Putih ( 13, 14, & 15 )
setiap bulan
قال أبو ذرالغفارى رضي الله عنه : أمرنا رسول الله
صلى الله عليه وسلم : أَنْ نَصُومُ
مِنْ الشَهْرِ ثلاثة أَيَّامٍ البَيْضَ, ثلاثَ عَشَرَةَ, أرْبَعَ عَشَرَةَ,
خَمْشَ عَشَرَةَ وَقالَ : هِيَ كصُومُ
الدَهْرِ. رواه النسائي وصححه ابن حبان
“Abu Dzar al Ghifari ra berkata : Kami diperintah oleh Rasulullah untuk
berpuasa selam 3 hari pada setiap bulan yaitu pada hari-hari putih yakni
tanggal 13, 14, dan 15. Nabi melanjudkan sabdanya puasa pada hari itu sama
dengan melaksanakan puasa selama 1 tahun. (HR. An-Nasa’I dan dishahihkan oleh
Ibnu Hibban)
7. Puasa sehari dan sehari Berbuka (Puasanya
Nabi Dawud as)[5]
عن أبي سلمة بن عبدرحمن عن عبدالله بن عمرو قال :
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : أُحِبُّ الصِيَام إِلَى اللهِ صِيَامِ دَاوَد, وَأحب الصَلاة إلَى
اللهِ صَلاة دَاوَد, كانينام
نصفه وَيَقُومُ ثلاثهُ, وَيَنَامُ سَدِسَهُ, وَكانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ
يَوْمًا.
“Dari Abu Salamah bin
Abdurrahman, dari Abdullah bin Amr berkata : Rasulullah saw bersabda : puasa
yang paling dicintaoleh Allah adalah puasanya nabi Dawud as, shalat yang paling
dicintai oleh Allah adalah shalatnya nabi Dawud as. Nabi Dawud tidur separuh
malam kemudian bangun pada sepertiga malam dan tidur lagi pada seperenam
malam.Beliau juga berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari.
c. Hari-hari di Haramkan Melakukan Puasa
1) Puasa pada kedua Hari Raya
2) Puasa pada hari-hari Tasyrik
3) Puasa khusus hari Jum’at
4) Puasa Khusus Hari Sabtu
5) Puasa pada Hari Sya’
6) Puasa terus-menerus selama setahun[6]
2.6
Sunnah-Sunnah Puasa
1.
Menyegerakan berbuka apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari
sudah terbenam atau sudah masuk waktu buka.[7]
Sabda Rosulullah SAW.:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاََ يَزَالُ النَّا سُ بِخَيْرٍ
مَاعَجَّلُوا
الفِطْرَ. رواه البخارى ومسلم
“Dari Sahl bin Sa’ad, berkata Rasulullah s.a.w.: “Senantiasa manusia
dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa”. Riwayat Bukhori dan
Muslim”.[8]
2.
Berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis, atau dengan air.[9]
Kemudian hendaknya melaksanakan shalat Maghrib sebelum makan malamnya. Kecuali
jika makan malamnya sudah tersedia, maka tidak ada salahnya mendahulukannya
sebelum shalat Maghrib.[10]
Diriwayatkan :
عَنْ اَنَسٍ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْطِرُ
قَبْلَ اَنْ يُصَلِّي عَلَى رُطْبَاتٍ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ
فَعَلَى
تَمَرَاتٍ فَاِنْ لمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءِ. رواه الترمذى وعنه
“Dari
Anas: “Nabi s.a.w, berbuka sebelum sembahyang, dengan rutab (kurma tua), kalau
tidak ada, dengan kurma, kalau tidak ada juga beliau minum beberapa teguk”.
Riwayat Tirmidzi.”[11]
3.
Berdo’a sewaktu berbuka puasa.
Sabda Rosulullah s.a.w.:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اِذَا فْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ
الظَّمَا ُوَاَبْتَلَتِ العُرُوقُ وَاُثْْبِتَ الاَجْرُاِنْ شَاءَاللهُ. رواه
البخارى ومسلم
”Dari Ibnu Umar: Rasulullah s.a.w. apabila berbuka puasa, beliau
berdo’a: “Ya Allah karena Engkau saya puasa, dan dengan rizki pemberian Engkau
saya berbuka, dahaga telah hilang, dan urat-urat telah minum, dan mudah-muahan
ganjarannya ditetapkan”. Riwayat Daruquthni.”[12]
4.
Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah
kekuatan berpuasa.
Sabda Roasulullah s.a.w.:
عَنْ اَنَسِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوافَاِنَّ
فِى السَّحُورِبَرْكَةً. رواه البخارى ومسلم
“Dari
Anas, Rasulullah s.a.w. telah berbuka: “Makan sahurlah kamu, sesungguhnya makan
sahur itu berkat (menguatkan badan menahan lapar karena puasa)”. Riwayat
Bukhori dan Muslim.”[13]
5.
Menakhirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍّ قََالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَتزَالَ اُمَّتِى بِخَيْرٍمَااَخَّرُواالسَّحُورَوَعَجَلُوا لِفَطَرَ. رواه احمد
“Dari
Abu Zarr, Rasulullah s.a.w. telah berkata: “Senantiasa umatku dalam kebaikan
selama mereka mentakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka”. Riwayat Ahmad.[14]
6.
Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang puasa.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
مَنْ فَطَرَصَائِمًافَلَهُ اَجْرُصَائِمٍ وَلاَيَنْقُصُ مِنْ اَجْرِالصَائِمِ
شَيْٸُ. رواه الترمذى
“Barang siapa member makanan untuk berbuka bagi orang yang puasa, maka ia
mendapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang puasa itu, tidak kurang
sedikitpun”. Riwayat Tirmidzi.[15]
7.
Hendaklah diperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
عَنْ اَنَسً قٍيْلَ يَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَيُّ الصَدَقَةِ اَفْضَلُ قَالَ صَدَقََةٌ
فِى رَمَضَانَ.
رواه الترمذى
“Dari Anas,
ditanyakan orang kepada Rasulullah s.a.w.: “Apakah sedekah yang lebih baik?”
Jawab Rasulullah s.a.w. “Sedekah yang paling baik ialah sedekah pada bulan
Ramadhan”. Riwayat Tirmidzi.[16]
8.
Memperbanyak membaca Qur’an dan mempelajarinya, (belajar atau
mengajar). Karena mengikut perbuatan Rasulullah s.a.w.[17]
2.7 Hikmah-Hikmah
Puasa
Puasa memiliki banyak manfaat atau
hikmah.Hikmah puasa mencangkup 3 aspek yaitu aspek rahani, aspek sosial, dan
aspek kesehatan.
1) Aspek Rahani
Hikmah puasa pada aspek ruhani adalah :
a. Membiasakan sifat Sabar
b. Mengajarkan dan membantu menjaga
keseimbanagan jiwa
c. Menimbulkan ketaqwaan dalam jiwa dan
meningkatkannya
2) Aspek sosial
Hikmah puasa pada aspek sosial adalah :
a. Membiasakan umat untuk teratur
b. Membiasakan umat untuk bersatu
c. Mencintai keadilan dan kebersamaan
d. Terbinanya perasaan lemah lembut, kasih
sayang dan ihsan
3) Aspek Kesehatan
a. Membersihkan usus
b. Memperbaiki lambung
c. Mensterilkan badan dari zat-zat yang tidak
bermanfaat dan membahayakan
d. Meringankan badan dari kekegemukan
e. Mengurangi lemak yang ada dalam perut[18]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Puasa adalah
amalan ibadah yang berfungsi membelajaran kepada umat manusia untuk mengekang
hawa nafsu sehingga manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya yang akhirnya
mereka selamat dari dunia sampai akhirat.Di dalam puasa terdapat beberapa
syarat dan rukun dalam melaksanakan ibadah puasa tersebut.
{KESIMPULAN BELUM SELESAI/ SELESAIKAN SENDIRI :D}
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.
2000. Pedoman Puasa. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra
As-Sadlan, Shalih bin Ghanim, Syaikh
Muhammad Shalih Al-Munajjid. 2007. Intisari
Fiqih Islami (Lengkap dengan Jawaban Praktis atas Permasalahan Fiqih
Sehari-Hari). Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta (eLBA)
Al-Zuhayly, Wahbah. 1995. Puasa dan Itikaf: Kajian Berbagai Mazhab. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Al-Zuhayly, Wahbah. Al-Fiqhu Al-Islami Waa Adillatuhu. Damaskus:
Dar El-Fikr
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis I: Menurut Al-Quran, As-Sunnah
dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Karisma,
Mughniyah, Muhammad Jawad. 1996. Fiqih Lima Madzhab: Ja’far, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hanbali. Jakarta: PT Lentera Basritama
Rasjid, Sulaiman. 1981.
Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah
Sabiq, Muhammad
Sayyid..... Fiqih as Sunnah..... Darul
Fath
[1]Shalih Bin Ghonim. 2007. Intisari Fiqh Islam.
Surabaya. CV Fitrah Mandirui Sejahtera. Hal 104
[2]Wahbah Al-Zuhaily, Puasa dan Iktikaf. Bandung:
Rosda Karya. Hal: 85
[3]Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami Waa
Adillatuhu, Damaskus: Dar El-Fikr, cet. X, hal 566/II
[4]Muhammad Sayyid Sabiq…… Fiqh as Sunnah.
……. Darul fath.Hal. 401.
[5]Ibid. Muhammad Sayyid Sabiq.Hal. 414-417.
[6]Ibid. 410-413.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta:
Attahiriyah, 1981, cet. XVIII, hlm. 232.
[9]Ibid.
[10] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis I:
Menurut Al-Quran, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Karisma,
2008, cet. I, hlm. 354.
[11] H. Sulaiman Rasjid, loc. cit.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Shalih Bin Ghonim.Op.Cit. hal 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar