Selasa, 24 April 2012

PUASA

 Makalah Disusun untuk  Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh I


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Islam adalah sebuah agama yang mengatur umatnya agar dapat mendapatkan ketenangan dan ketentraman dalam menjalani kehidupan di  dunia. Di dalam Islam terdapat rukun-rukun Islam yang harus dipenuhi atau di jalankan oleh umatnya yaitu menyaksikan tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan ibadah puasa, dan ibadah haji bagi yang mampu. Dari kelima rukun Islam tersebut perlu di bahas satu persatu, akan tetapi dalam makalah ini memilih satu konten pembahasan yaitu puasa. Puasa merupakan bentuk amalan ibadah yang dilakukan oleh seluruh umat manusia, mulai sejak zaman sebelum nabi mehammad di utus sampai sekarang.
Puasa dalam Islam memiliki beberapa syarat dan rukun dalam pelaksanaannya.Oleh sebab itu kita harus paham dengan hal-hal yang berkaitan ibadah puasa secara menyeluruh agar ibadah puasa kita diterima oleh Allah swt.

1.2    Rumusan Masalah
1.  Apakah yang dimaksud dengan puasa, syarat dan rukun puasa?
2.      Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa dan macam-macam puasa?
3.      Apa saja sunnah puasa?
4.      Apa hikmah dari puasa ?

1.3    Tujuan
1.      Mengerti tentang puasa beserta syarat dan rukunnya.
2.      Mengerti hal-hal yang membatalkan puasa dan macam-macam puasa.
3.      Mengerti sunnah puasa.
4.      Mengerti tentang hikmah-hikmah puasa.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pengertian Puasa
Secara etimologi puasa (shaum) berarti menahan.Sedangkan menurut terminologi adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan semua yang membatalkan puasa dengan niat beribadah kepada Allah sejak terbitnya fajar (Shadiq) sampai terbenamnya matahari dengan syarat dan rukun tertentu.[1]
2.2  Syarat-syarat Puasa
Penjelasan tentang syarat-syarat puasa ini kami ambil dari buku yang sama yaitu Puasa dan Iktikaf (Kajian berbagai Madzhab) karangan Wahbah Al-Zuhaily.
2.2.1        Syarat Wajib Puasa
Para fuqaha’ mengajukan lima syarat untuk wajib puasa antara lain;
1)   Islam
Menurut madzhab Hanafi, Islam merupakan syarat-wajib, sedangkan menurut jumhur, Islam merupakan syarat-sah.Dengan demikian puasa tidak diwajibkan atas orang kafir.Menurut kelompok pertama, (madzhab Hanafi), orang kafir tidak di tuntut untuk mengqadha’ puasa (jika dia masuk Islam). Puasa orang kafir, menurut kelompok kedua, hukumnya sama sekali tidak sah, meskipun dia murtad; dia tidak berkewajiban dalam mengkadha’ puasa.
Menurut madzhab Hanafi, orang kafir tidak dikanahi kewajiban yang berkenaan dengan cabang-cabang syariat, yang merupakan ibadah.Adapun menurut jumhur, orang kafir-ketika mereka berada dalam kekafiran-dikenahi kewajiban yang berkaitan dengan cabang-cabang syariat.Maksudnya mereka wajib memeluk agama Islam, kemudian berpuasa.Puasa tidak sah sebelum mereka masuk Islam, karena puasa merupakan ibadah langsung kepada Allah yang bersifat fisik (ibadah badaniyah mahdho)yang memerlukan niat; sedangkan salah satu syarat niat adalah Islam, seperti halnya shalat.Akan tetapi mereka tidak di tuntut mengerjakan cabang-cabang syariat sewaktu mereka kafir.
Perbedaan pendapat tersebut di atas, pada akhirnya terfokuskan pada masalah pelipat gandaan adzab di akhirat. Menurut madzhab Hanafi azab untuk orang kafir di akhirat adalah satu, sedangkan menurut jumhur, azab mereka dilipatgandakan; pertama, azab karena kekafiran mereka,dan kedua,  azab karena mereka tidak melaksanakan taklif syarak.
Jika seorang yang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, dia harus berpuasa pada hari-hari yang masih tersisa dalam bulan tersebut.Dan menurut kesepakatan ulama’, ia tidak harus mengqadha’ puas-puasa yang telah lewat. Pendapat ini berdasarkan ayat berikut:
Kewajiban qadha’ bagi mereka akan menyebabkan mereka lari dari Islam. Adapun keluar dari Islam (ridda) menyebabkan puasa tidak sah; berdasarkan firman Allah swt sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi, jika dia masuk Islam pada pertengahan hari, dia harus menahan diri selama hari yang masih tersisah dan wajib mengqadha’nya.Karena, dia telah berada pada sebagian waktu ibadah.Dengan demikian, hari itu menjadi wajib atas dirinya apabila dia memenuhi sebagian waktu shalat.
Menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, orang kafir yang masuk Islam pada pertengahan siang puasa maka disunahkan menahan diri dari makan. Tujuannya, untuk memelihara kehormatan atau hak waktu, dengan cara menyerupai orang yang puasa. Menurut madzhab Maliki, penyunahan hal ini sama dengan penynahan mengqadha’ puasa pada hari tersebut.Sedangkan menurut madzhab Hanafi, mengkadha’ puasa tersebut tidak wajib hukumnya.
Menurut madzhab Syafi’i, pendapat yang paling shahi mengemukakan bahwa orang kafir yang masuk islam pada pertengahan siang di bulan puasa tidak wajib mengqadha’ puasanya pada hari tersebut.
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, berlainan halnya jika seorang yang murtad masuk Islam.Dia wajib mengqadha’ puasa selama masa kekafirannya, sebab puasa menjadi wajib karena keislamannya.Kewajiban itu menjadi gugur karena ridda-nya, seperti tidak gugurnya kewajiban memenuhi hak-hak manusia.
2). dan 3). Baligh dan Berakal
Puasa tidak wajib bagi anak kecil, orang gila, orang pingsan dan orang yang mabuk, karena mereka tidak di kenahi Khitab taklifi, maka mereka tidak berhak untuk puasa. Orang yang akalnya,ingatanya hilang tidak dikenahi kewajiban dalam berpuasa. Dengan demikian puasa yang dilakukan oleh orang gila, pingsan dan mabuk tidak akan sah.
Akan tetapi puasa yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayis, hukumnya sah, seperti halnya shalat.Wali anak tersebut menurut madzhab Syafi’i, Hanafi dan Hanbali, wajib untuk menyuruhnya berpuasa ketika dia berusia tujuh tahun.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak kecil tidak perlu untuk disuruh berpuasa.Lain halnya dengan shalat.Anak kecil tidak berkewajiban berpuasa sampai dia bermimpi.
Menurut madzhab Hanafi, jika seorang anak kecil mencapai usia balig pada pertengahan hari puasa, dia mesti menahan diri, seperti halnya orang kafir yang masuk Islam. Setelah itu (anak kecil) tadi wajib berpuasa pada hari-hari berikutnya.Dan dia juga tidak wajib mengqadha’ puasa sebelumnya.
Menurut madzha Hanafi, orang yang pingsan pada pertengahan hari, tidak perlu mengqadha’ puasanya pada hari itu.Adapun pada hari-hari berikutnya jika dia masih pingsa dia wajib mengkadha’ puasa karena pada hari- hari sesudahnya dia tidak berniat berpuasa pada malam harinya, maka dia wajib mengkadha’ esok harinya.
Jika orang gila sadar pada bulan Ramadhan, maka dia harus mengkadha’ pada hari-hari Ramadhan yang telah lewat.Jika penyakit gila itu terjadi pada waktu yang memungkinkan untuk orang gila untuk berpuasa, dia tidak mengkhadha’ pausa karena kesulitan.
Kesimpulan, pada dasarnya, pingsan dan gila yang terputus tidak menghilangkan kewajiban berpuasa dan mengqadha’nya. Adapun gila yang terjadi pada semua bulan, maka pelakunya tidak perlu untuk mengqadha’ puasa, sedangkan pingsan di dalamnya terdapat hukum qadha’, sama halnya dengan mabuk.
Menurut Jumhur, penyakit gila yang berkesinambungan tidak mewajibkan qadha’, sedangkan menurut madzhab Maliki yang masyhur, penyakit gila seperti itu wajib mangqadha’. Adapun pingsan, menurut kesepakatan para ulama’, mewajibkan qadha’.
Madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa puasa orang yang pingsan yang sempat sadar pada sebagian waktu siang hukumnya sah.Tetapi, jika pingsan itu berlangsung sepanjang hari, puasanya tidak sah. Menurut Madzhab Hanafi, puasa orang pingsan hukumnya sah secara mutlak, sedangkan menurut madzhab Maliki puasa orang pingsan hukumnya tidak sah, kecuali jika orang tersebut pingsan dalam waktu yang singkat, seperti setengah hari atau kurang setengah hari.
4). dan 5). Mampu (Sehat) dan Berada di Tempat Tinggal (Iqamah)
Puasa tidak diwajibkan atas orang yang sakit atau musafir.Walaupun demikian, mereka wajib mengqadanya.Kewajiban mengqada puasa bagi keduanya ini telah disepakati oleh para ulama’.Tetapi, jika keduanya ternyata berpuasa, puasanya dipandang sah. Dalilnya ialah ayat yang artinya sebagai berikut:

“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya.dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah; 184)
Jika seorang musafir telah tibah di daerahnya, dia harus menahan diri dari makan dan minum selama waktu yang tersisah. Hal ini sama dengan kasus seorang wanita haid yang telah suci pada pertengahan siang.
Puasa tidak di wajibkan atas orang yang tidak mampu melakukannya karena usia yang telah lanjut. Begitu juga, puasa tidak diwajibkan atas wanita haid, wanita hamil, atau wanita menyusui, sebab secara syara’ dan secara empiris mereka dipandang sebagai orang yang lemah.
Syarat tidak wajib berpuasa atas musafir adalah perjalanan yang membolehkan pengqasaran shalat dan menurut Jumhur selain madzhab Hanafi perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang hukumnya mubah, bukan haram.Sebab, keringanan atau rukhsa tidak boleh ditetapkan pada hal-hal yang bersifat maksiat.Adapun menurut madzhab Hanafi mubahnya perjalanan tidak menjadi syarat bagi tidak wajibnya berpuasa atas orang musafir, karena alasan penerapan rukhsa ialah perjalanan itu.
Madzhab Hanafi menambahkan satu syarat wajib puasa yang lain, yaitu, kewajiban puasa itu telah dipahami secara ushuliya, artinya, kewajiban puasa itu telah diketahui secara sadar. Syarat ini ditunjukkan bagi orang yang masuk Islam di medan pertempuran atau karena kalah atau bagi orang yang terlahir dan tumbuh di daerah Islam.
2.2.2        Syarat Sah Puasa
Madzhab Hanafi mensyaratkan tiga hal untuk kesahan puasa, yaitu;
1.      Niat
2.      Tidak ada hal yang menafikan puasa, baik karena haid maupun nifas.
3.      Tidak ada hal yang membatalkan puasa.
Jika seorang wanita mengeluarkan darah haid, maka ia harus berbuka dan mengqadha’nya.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa syarat syah puasa ada empat:
1.    Niat
2.    Suci dari haid dan nifas
3.    Islam, dan
4.    Waktu yang layak untuk berpuasa.  Puasa tidak sah dilakukan pada hari raya.
Mereka juga mengajukan syarat lain, yaitu berakal. Puasa tidak sah dilakukan oleh orang gila dan orang yang pingsan.
Madzhab Syafi’i juga berpendapat syarat sah puasa ada empat:
1.    Islam
2.    Berakal
3.    Suci dari haid dan nifas sepanjang siang, serta
4.    Berniat
Puasa tidak sah dilakukan oleh orang kafir, orang gila, anak kecil yang belum mumayis, wanita haid dan wanita nifas .
Sedangkan menurut madzhab Hanbali, syarat puasa ada tiga, yaitu:
1.    Islam
2.    Berniat
3.    Suci dari hadast dan nifas
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa para ulama’ madzhab sepakat atas persyaratan niat serta suci dari haid dan nifas.Adapun Islam dijadikan syarat sah oleh jumhur, dan syarat-wajib oleh madzhab Hanafi, sebagaimana telah di jelaskan di muka.

ü  Suci dari Haid dan Nifas
Para fuqaha’ sepakat bahwa keterbebasan dari hadas besar (jinabah) bukan merupakan syarat selama jinabah itu bisa dihilangkan.Orang yang berada dalam keadaan junub pada pagi hari dan baru bersuci (mandi) setelah terbit fajar, puasanya pada hari itu dipandang cukup sah. Begitu juga wanita haid yang telah suci sebelum terbit fajar, tetapi baru mandi setelah fajar terbit
ü  Niat
Apakah niat termasuk syarat atau rukun?
Para fuqoha’ sepakat bahwa keberadaan niat dituntut dalam setiap jenis puasa; baik puasa fardu maupun puasa sunnah, baik sebagai syarat maupun sebagai rukun, (perlu diketahui bahwa syarat adalah sesuatu yang di luar hakikat, sedangkan rukun, menurut Madzhab Hanafi adalah sesuatu yang termasuk bagian dari hakekat).Kesepakan mereka ini berdasarakan hadist Rasulullah sbb;
إِنَّمَا الأَعْمَلُ بِالنِّيَاتٍ
Sesunggunya amalan-amalan itu ( harus disertai) dengan niat)”

Madzhab Hanafi, Hanbali juga Maliki memandang bahwa niat merupakan syarat, sebab puasa Ramadan dan yang lainnya merupakan ibadah, ibadah adalah nama untuk suatu perbuatan hamba yang dilakukan atas dasar kehendaknya dan ikhlas karena Allah, sedangkan kehendak dan keikhlasan tidak akan terealisasi tanpa niat. Niat dimaksudkan untuk membedahkan antara ibadah dan bukan ibadah.
Sedangkan menurut madhab Syafi’i, niat merupakan rukun, sebagaimana halnya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.

2.2.3        Kesimpulan Pendapat dari Berbagai Madzhab mengenahi Syarat-syarat Puasa

Menurut madzhab Hanafi, syarat puasa ada tiga, yaitu, 1).Syarat wajib, 2).Syarat wajib pelaksanaan (ada’) dan 3).Syarat-sah pelaksanaan.
Syarat-wajib puasa ada empat:
1)    Islam
2)    Berakal
3)    Baligh
4)   Mengetahui kewajiban puasa bagi orang yang masuk Islam di medan pertempuran atau yang berada di negeri Islam.
Barang siapa yang gila di bulan Ramadhan maka dia tidak perlu mengqadha’ puasanya.Jika dia sadar pada sebagian hari dalam bulan Ramadhan, maka dia harus mengqadha’ puasa pada hari-hari yang terlewatkan saja.Adapun orang yang pingsan selama bulan Ramadhan secara penuh maka wajib mengqadha’ puasanya.Namun orang yang pingsan selama sehari dalam bulan Ramadhan tidak wajib mengqadha’ hari tersebut.Karena dalam hari tersebut ia melakukan puasa, yaitu, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat, sedangkan hari berikutnya harus di qadha’.
Syarat-wajib pelaksanaan puasa ada dua:
1)      Selamat dari penyakit, haid dan nifas. Puasa tidak wajib dilaksanakan bagi orang yang sakit.
2)      Bermukim. Puasa tidak wajib dilakukan oleh seorang musafir. Akan tetapi mereka wajib mengqadha’ puasanya.

Adapun syarat-sah puasa ada tiga:
1)   Niat, puasa tidak sah apabila tidak disertai dengan niat
2)   Tidak ada halangan puasa, seperti haid dan nifas. Puasa tidak sah dilakukan oleh wanita yang sedang haid dan nifas, dan mewajibkan kedunya mengqadha’ puasa.
3)   Tidak ada hal yang membatalkan puasa
Madzhab Maliki berpendapat bahwa syarat puasa ada tiga, yaitu: 1). Syarat wajib, 2). Syarat sah, 3). Syarat wajib dan syarat-sah secara bersamaan, jumlahnya ada tujuh.
1.    Islam
2.    Baligh
3.    Berakal
4.    Suci dari darah
5.    Sehat
6.    Bermukim
7.    Niat
Syarat wajib puasa ada tiga,
1.    Baligh
2.    Sehat
3.    Bermukim (iqomah)
Puasa tidak wajib untuk anak kecil meskipun sudah menginjak puberita.Anak kecil boleh saja berpuasa, tetapi tidak disunahkan, walinya tidak wajib untuk menyuruhnya berpuasa.Puasa tidak diwajibkan untuk orang yang sakit, lemah atau musyafir.Namun baik orang sakit, lemah, maupun musafir wajib mengqadha’ puasa.
Syarat sah puasa ada dua:
1.    Islam, puasa tidak sah dilakukan oleh orang kafir meskipun puasa diwajibkan atasnya.
2.    Waktu yang layak untuk berpuasa, puasa tidak sah dilakukan pada hari raya.
Syarat wajib dan syarat sah secara bersamaan ada tiga:
1.    Suci dari darah haid dan nifas. Puasa tidak sah dan tidak wajib dilakukan oleh wanita yang haid dan nifas, dan kedunya wajib mengqadha’nya ketika halangan itu selesai.
2.    Berakal. Orang yang akalnya hilang tidak diperintah untuk berpuasa. Puasa tidak wajib dan tidak sah dilakukan oleh orang giladan orang yang pingsan. Adapun qadha’ atas orang gila yang sadar dari penyakit gilanya-menurut pendapat yang masyhur-merupakan kewajiban secara mutlak. Qadha’ juga wajib atas orang pingsan jika pingsannya berlangsung selama sehari atau lebih. Akan tetapi, apabila dia pingsan dalam waktu yang singkat setelah terbit fajar, qadha’ puasa tidak diwajibkan kepadanya.
3.    Niat. Menurut pandangan yang rajih dan yang dan paling jelas, niat merupakan syarat sah puasa karena niat adalah penyengajaan terhadap susuatu.
Kesimpulan kewajiban puasa menjadi gugur karena dua belas hal yaitu: anak kecil, gila, haid, nifas, pingsan, musafir, keadaan sehat tetapi lemah dan tidak mampu berpuasa, selalu haus, sakit, hami, menyusui, dan tua.

Madzhab Syafi’i, bahwa syarat puasa ada dua; 1). syarat-wajib dan 2). syarat-sah puasa.
Syarat wajib puasa ada empat;
1)   Islam. Orang kafir tidak wajib puasa, seperti halnya shalat. Tetapi diakhirat kelak, dia akan disiksa karena tidak berpuasa. Orang murtad wajib menkadha’ puasanya ketika dia masuk Islam lagi.
2)   Balig. Puasa tidak wajib atas anak kecil, baik pada waktu melaksanakan pada waktunya maupun mengkadha’nya. Ketika dia berumur tujuh tahun, dia mesti diperintahkan berpuasa.
3)   Berakal. Orang gila tidak diwajibkan berpuasa, baik melaksanakan pada waktunya maupun mengkadha’nya. Tetapi, jika penyakit gilanya terjadi karena sengaja, ia  wajib mengkadhanya. Orang mabuk dengan sengaja maka dia wajib mengkadhanya. Sebaiknya orang mabuk secara tidak sengaja tidak diwajibkan mengkadha’ puasanya.
4)   Mampu. Puasa tidak wajib atas orang lemah. Misalnya orang tua atau orang yang sakit yang kesembuhannya tidak bisa diharapkan. Atau orang yang jika dia berpuasa, penyakitnya akan bertambah parah.

Syarat-sah puasa, juga dibagi menjadi empat:
1)   Islam. Puasa tidak sah dilakukan oleh kafir ashlyi, dan orang murtad.
2)   Mumayis atau berakal sepanjang siang .puasa anak kecil yang belum mumayis dan orang gila, hukumnya tidak sah. Hal ini disebabkan karena ketidakadaan niat. Sedangkan anak kecil yang sudah mumayis, hukumnya sah. Puasa tidak sah bila dilakukan oleh orang  mabuk dan orang yang pingsan, tetapi menurut pendapat yang jelas, mabuk dan pingsan yang terjadi sebentar tidak membatalkan puasa. Begitu juga, menurut pendapat yang sahih, tidur yang dilakukan sepanjang siang tidak membatalkan puasa.
3)   Suci dari haid dan nifas sepanjang siang. Puasa wanita haid atau nifas hukumnya tidak sah. Begitulah menurut kesepakatan para ulama’. Sendainya di tengah puasa wanita mengeluarkan darah haid, nifas, murtad dan gila maka puasanya batal.
4)   Waktu yang layak untuk berpuasa. Puasa yang dilakukan pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik hukumnya tidak sah. Begitu juga pada hari syak. Puasa juga tidak sah dilakukan di pertengahan akhir bulan syakban.
Niat termasuk rukun.Ia disyariatkan pada setiap hari.Niat wajib dilaksanakan pada malam hari ketika puasa fardhu, tidak untuk puasa nafilah, niat bisa odilakukan sebelum matahari tergelincir, dan wajib pula menentukan jenis puasanya.Tetapi, dalam puasa fardu, kefarduan puasa tidak wajib ditentukan dalam niat.
Madzhab Hanbali, mengatakan bahwa syarat puasa ada dua; yiatu1).Syarat-wajib dan 2). Syarat-sah
Syarat wajib puasa ada empat;
1.        Islam. Puasa tidak wajib atas orang kafir, meskipun hanya murtad. Sebab puasa merupakan ibadah badaniya yang memerlukan niat. Oleh karena itu, sebagai halnya shalat, salah satu syarat puasa ialah Islam. Puasa orang kafir atau orang murtad, hukumnya tidak sah. Seandainya orang Islam keluar dari Islam ketika berpuasa maka puasanya batal.
Pendapat ini berdasarkan ayat yang artinya sebagai berikut:

Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar; 65)

Jika dia kembali ke Islam, dia harus mengqadha puasa pada hari itu.
2.        Baligh. Puasa tidak wajib atas  anak kecil meskipun dia sudah menginjak masa puberitas.
3.        Berakal. Puasa tidak wajib bagi orang gila. Puasa tidak wajib bagi anak kecil yang belum mumayis, seperti halnya shalat, dan puasa sah dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayis. Adapun orang yang gila selama sehari penuh atau lebih tidak mengqada’ puasanya. Jika Puasa yang dilakukan oleh orang gila atau pingsan pada sebagian siang, hukumnya sah. Dengan syarat, keduanya telah berniat pada malam hari.
4.        Mampu berpuasa. Puasa tidak diwajibkan atas orang yang lemah misalnya orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuannya maka mereka tidak diwajibkan berpuasa. Pendapat ini berdasarkan ayat yang artinya sebagai berikut:
 
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."(QS. Al-Baqarah; 286)

Adapun orang yang sakit yang penyakitnya bisa diharapkan sembuh, maka wajib melaksanakan puasa setelah sembuh dan mengqada’ puasanya.
Menurut madzhab ini syarat-sah puasa ada empat, yaitu:
1.   Niat. Maksudnya, niat yang menentukan jenis puasa yang akan dilakukan. Niat yang dilakukan pada malam hari untuk puasa yang hukumnya wajib. Kewajiban ini tidak gugur karena lupa atau yang lainnya.
2.   Suci dari haid dan nifas. Puasa wanita yang haid dan nifas hukumny tidak sah. Bahkan hukumnya menjadi haram dilakukan oleh mereka. Mereka wajib mengqada’ puasanya ketika sudah berhenti haid dan nifasnya.
3.   Islam. Puasa tidak sah dilakukan oleh orang kafir, meskipun dia murtad.
4.   Berakal. Yakni mumayis. Puasa tidak sah dilakukan oleh anak yang belum mumayis, yakni anak yang belum mencapai usia tujuh tahu.

2.3    Rukun-Rukun Puasa
Rukun puasa ialah menahan diri dari dua macam syahwat; yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan.Maksudnya, menahan diri dari segala susuatu yang membatalkannya. Dalam hal ini, madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan satu rukun yang lain, yaitu berniat yang dilakukan pada malam hari.[2]
Semua ulama’ berpendapat bahwa rukun puasa ada 3 macam yaitu :
1.    Niat
2.    Menahan diri dari makan, minum dan jima’
3.    Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa [3]


2.4    Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Hal-hal yang membatalkan puasa ada 12 belas, semuanya ini kami ambil dari buku fiqh 5 madzhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah. 12 hal tersebut yaitu :
1.      Makan dan minum secara sengaja
Semua imam madzhab sepakat bahwa makan dan minum secara sengaja membatalkan puasa akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kafaratnya. Imamiyah dan Hanafi mewajibkan membayar kafarat. Syafi’I dan Hambali tidak mewajibkan membayar kafarat.Sedangkan maliki mewajibkan untuk mengqodo’nya saja. Apabila seseorang makan dan minum secara tidak sengaja maka tidak ada kewajibiban untuk membayar kafarat dan mengqodonya.
2.      Bersetubuh dengan sengaja
Semua imam madzhab sepakat bahwa orang yang melakukan persetubuhan pada siang hari secara sengaja maka ia berkewajiban untuk membayar kafarat dan mengqodo’ puasanya. Kafarat yang dimaksudkan disini adalah :
1)      Memerdekakan budak
2)      Melakukan puasa dua bulan secara berturut-turut
3)      Memberi mkan kepada orang miskin sebanyak 60
Apabila persetubuhn yang dilakukan oleh orang tersebut dengan tidak sengaja maka puasanya tidak batal menurut Hanafi, Syafi’I dan Imamiyah. Sedangkan menurut hambali dan Maliki puasanya batal.
3.      Istimna’ (Mengeluarkan Mani dengan Sengaja)
Semua imam madzhab sepakat bahwa istimna’ dapat merusak puasa / membatalkan puasa, mereka juga sepakat bahwa madzi yang keluar juga merusak puasa.Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa melihat sesuatu yang dapat membangkitkan gairah seks, mka dapat merusak puasa.
4.      Muntah dengan Sengaja
Imamiyah, Syafi’i dan Maliki sepakat bahwa muntah dengan sengaja maka merusak puasa dan wajib untuk mengqodo’nya.Menurut Hanafi muntah tidak membatalkan atau merusak puasa dengan syarat muntahnya tidak memenuhu mulut.Sedangkan menurut Hambali muntah dengan terpaksa maka tidak membatalkan puasa.
5.      Berbekam (Bercanduk)
Menurut Hambali berbekam dan dibekam dapat membatalkan/ merusak puasa. Ulama’ yang lain tidak menyebutkan tentang ini.
6.      Disuntik dengan yang Cairan
Semua imam madzhab sepakat bahwa disuntik dengan yang cair membatalkan puasa dan wajib mengqodo’nya.Imamiyah menambahkan dengan kewajiban membayar kafarat dengan syarat orang yang disuntik tidak dalam keadaan kritis.
7.      Masuknya Debu Halus ke dalam Lubang Hidung
Masuknya debu ke lubang hidung dapat membatalkan puasa berdasarkan pendapat Imamiyah. Imamiyah menjelaskan bahwa masuknya debu ke dalam tubuh manusia melalui lubang hidung lebih cepat dari pada suntikan.
8.      Bercelak
Menurut Maliki bahwa bercelak pada siang hari dan dia dapat merasakan rasa celak sampai pada kerongkongan maka dapat membatalkan Puasa.
9.      Membatalkan Niat
Menurut Imamiyah dan Hambali orang yang sedang puasa berniat untuk berbuka puasa tetapi pada kenyataannya dia tidak berbuka kemudian hanya berbekam sampai waktu maghrib maka puasanya batal. Ssedangkan menurut madzhab yang lain puasanya tidak batal.
10.  Menyelamkan Seluruh Badan kedalam Air
Selain mazdhab Imamiyah menyatakan bahwa menyelam tidak membatalkan puasa sedangkan Imamiyah menyatakan dengan tegas bahwa menyelam membatalkan puasa dan dia wajib mengqodo’ serta membayar kafarat.

11.  Melamakan Diri dalam Keadaan Junub
Imamiyah menyatakan bahwa berlama-lama dalam keadaan junub hingga terbitnya fajar maka puasanya batal, wajib mwngqodo’ dan membayar kafarat.Sedangkan menurut madzhab yang lain tidak membatalkan puasa dan tidak ada kewajiban mengqodo’ atau membayat kafarat.
12.  Berbohong kepada Allah dan Rasul
Berbohong disini yaitu menyampaikan sesuatu yang bersumber dari Allah dan Rasul tidak sesuai dengan keadaan yang asli.Oleh dasar inilah Imamiyah menyakan Bahwa orang yang berbohong kepada Allah dan Rasul sedangkan ia dalam keadaan puasa maka seketika itu puasanya batal dan wajib mengqodo’ serta membayar kafarat.

2.5    Macam-macam Puasa
1.      Puasa Fardlu
Puasa jenis ini terdiri dari tiga macam: (1) puasa yang diwajibkan karena waktu tertentu, yakni puasa pada bulan Ramadhan, (2) puasa yang diwajibkan karena suatu sebab (;illat), yakni puasa kafarat, dan (3) puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa kepada dirinya sendiri, yakni puasa nazar.
Puasa-lazim menurut madzhab Hanafi, ada dua macam, yaitu:
(1)      Puasa-fardhu dan
(2)      Puasa-wajib.
Puasa fardhu terdiri atas dua macam, yaitu: (1) fardhu mu’ayyan (yang ditentukan), seperti puasa Ramadhan yang harus dilakukan tempat pada waktunya (ada’); (2) fardhu ghair mu’ayyan (tidak ditentukan) seperti puasa Ramadhan yang dilakukan dengan qadha karena suatu uzur dan puasa kafarat. Meskipun demikian, puasa ghair mu’ayyan yang disebut terakhir ini (yakni puasa kafarat) merupakan puasa yang difardhukan secara ‘amali (perbuatan), bukan secara i’tiqadi (keyakinan). Oleh karena itu, orang yang tidak melakukannya tidak dipandang kafir.
Adapun puasa wajib, juga terdiri atas dua macam, yaitu: (1) wajib mu’ayyan, seperti puasa nazar yang ditentukan. (2) wajib ghair mu’ayyan, seperti puasa nazar yang tidak ditentukan dan mengqadha puasa nafilah yang batal.

2.    Puasa Tathowu’
a.       Puasa fardlu terbagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:[4]
1.      Puasa Ramadlon
Dasar perintah melaksanakan puasa Ramadlon adalah QS. Al-Baqarah ayat 183 yang artinya :


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

2.      Puasa Kafarat
3.      Puasa Nadzar



b.      Sedangkan puasa Tathowu’ terbagi menjadi 8 macam yaitu :
1.      Puasa 6 hari bulan Syawal
روي الجماعه إلا البخاري والنسائ. عَنْ أَبِي أَيُّوبٍ أَلاَنْصَارِي : أَن النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ : " مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ فَكأنمَا صَامَ الدَهر"
            “Diriwayatkan secara berjama’ah kecuali imam bukhori dan Nasa’i.dari sahabat Ayub al anshori, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda : barang siapa yang melakukan puasa ramadlon kemudian \dilanjutkan pada bulan syawal sampai 6 hari maka dia diumpamakan seperti puasa selama 1 tahun.”




2.      Puasa Arafah
عَنْ اَبِي قَتَادَةْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "صَوْمُ عَرَفَةَ
 يُكَفِّرُسُنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً, وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُوْرَا يُكَفِّرُسَنَةً مَا ضَيةً" رواه الجماعة
 الا البخارىوالترمذى.
                                    “Diriwayatkan dari Abi Qatadah ra, belia berkata bahwasanya Rasulullah saw, puasa arafah dapat melebur dosa 2 taahun yang sudah lewat dan 2 tahun yang akan datang, dan puasa asyura dapat melebur dosa selama 1 tahun yang sudah lewat. (HR. jama’ah kecuali imam Bukhori dan Tirmidzi)




3.      Puasa Ashura
عَنْ ابِي هُرَيْرَةَ قالَ : سَئَلَ رَسُولُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الصَلاة أَفْضَل بَعْدَ
 المَكْتُوبَة؟قَالَ : الصَلاة فِي جوفٍ الَيْلِ, قِيْلَ : ثُمَّ الصِيَامُ أَفْضَل بَعْدَ رَمَضَان ؟ قَالَ
: شَهْرٌ اللهِ الَّذِي تدعونَهُ المُحَرَّم. رواه أحمد ومسلم وأبو داود.
“Dari abu hurairah ra. : rasulullah pernah ditannya : Shalat apakah yang lebih utama setelah shalat maktubah ? Rasul menjawab : shalat yang dilakukan di tengah-tengah malam. Kemudian beliau ditanya lagi : puasa apaah yang lebih utama setelah puasa ramadlon ? Beliau menjawab : puasa pada bulan Allah yang biasa kita kenal dengan nama Muharram.” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)




4.      Puasa Sya’ban
كانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ أكْثَرَ شَعْبَانِ. قالتْ عَائِشَةَ : مَا رَأيْتُ
رَسُولُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِسْتَكْمَلَ صِيَامَ فَقَطْ, إِلاَ شَهْرِ رَمَضَانَ, وَمَا رَاَيْتُ
فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامَا فِي شَعْبَانَ. رواه البخاري ومسلم
                             “ Rasulullah saw melaksanakan puasa Sya’ban dengan jumlah yang banyak. Aisyah berkata : saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melaksanakan puasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadlon, dan saya tidak pernah melihat Rasulullah memperbanyak puasa sunnah kecuali pada bulan Sya’ban. (HR. Bukhori dan Muslim)




5.      Puasa Hari Senin & Kamis
عن أبي هريرة : أن النَّبِيَّ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ كانَ أكثرَ مَا يَصُومُ الإَثنَيْنِ وَالخَمِيْس,
فَقِيْلَ لَهُ : فقال : إِنَّ الأَعْمَالَ تعرض كل إثنَيْنِ وَخَمِيْس, فَغْفِرُالله لكلِّ مُسْلِم, اَوْ لِكلِّ
مُؤْمِن, إِلا المُتَهَا جِرَيْنَ, فِيقولَ : أُخْرَهُمَا. رواه أحمد بسند صحيح.
                                   Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Nabi saw memperbanyak puasa pada hari senin dan kamis. Abu Hurairah bertanya tentang hal ini, maka Nabi menjawab : sesungguhnya amal-amal itu diangkan dihadapan Allah adalah pada hari senin dan hari kamis. Maka Allah mengampuni dosa setiap muslim atau setiap mukmin. Kecuali orang yang sedang pindah . (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)




6.      Puasa Hari Putih ( 13, 14, & 15 ) setiap bulan
قال أبو ذرالغفارى رضي الله عنه : أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَنْ نَصُومُ
مِنْ الشَهْرِ ثلاثة أَيَّامٍ البَيْضَ, ثلاثَ عَشَرَةَ, أرْبَعَ عَشَرَةَ, خَمْشَ عَشَرَةَ وَقالَ : هِيَ كصُومُ
الدَهْرِ. رواه النسائي وصححه ابن حبان
                “Abu Dzar al Ghifari ra berkata : Kami diperintah oleh Rasulullah untuk berpuasa selam 3 hari pada setiap bulan yaitu pada hari-hari putih yakni tanggal 13, 14, dan 15. Nabi melanjudkan sabdanya puasa pada hari itu sama dengan melaksanakan puasa selama 1 tahun. (HR. An-Nasa’I dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)




7.      Puasa sehari dan sehari Berbuka (Puasanya Nabi Dawud as)[5]
عن أبي سلمة بن عبدرحمن عن عبدالله بن عمرو قال : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم : أُحِبُّ الصِيَام إِلَى اللهِ صِيَامِ دَاوَد, وَأحب الصَلاة إلَى اللهِ صَلاة دَاوَد, كانينام
نصفه وَيَقُومُ ثلاثهُ, وَيَنَامُ سَدِسَهُ, وَكانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.
            “Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abdullah bin Amr berkata : Rasulullah saw bersabda : puasa yang paling dicintaoleh Allah adalah puasanya nabi Dawud as, shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalatnya nabi Dawud as. Nabi Dawud tidur separuh malam kemudian bangun pada sepertiga malam dan tidur lagi pada seperenam malam.Beliau juga berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari.

c.       Hari-hari di Haramkan Melakukan Puasa
1)   Puasa pada kedua Hari Raya
2)   Puasa pada hari-hari Tasyrik
3)   Puasa khusus hari Jum’at
4)   Puasa Khusus Hari Sabtu
5)   Puasa pada Hari Sya’
6)   Puasa terus-menerus selama setahun[6]


2.6    Sunnah-Sunnah Puasa
1.      Menyegerakan berbuka apabila telah nyata dan yakin bahwa matahari sudah terbenam atau sudah masuk waktu buka.[7]
Sabda Rosulullah SAW.:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاََ يَزَالُ النَّا سُ بِخَيْرٍ
 مَاعَجَّلُوا الفِطْرَ. رواه البخارى ومسلم
Dari Sahl bin Sa’ad, berkata Rasulullah s.a.w.: “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa”. Riwayat Bukhori dan Muslim.[8]




2.      Berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis, atau dengan air.[9] Kemudian hendaknya melaksanakan shalat Maghrib sebelum makan malamnya. Kecuali jika makan malamnya sudah tersedia, maka tidak ada salahnya mendahulukannya sebelum shalat Maghrib.[10]
Diriwayatkan :
عَنْ اَنَسٍ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْطِرُ قَبْلَ اَنْ يُصَلِّي عَلَى رُطْبَاتٍ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ
 فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَاِنْ لمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءِ. رواه الترمذى وعنه
Dari Anas: “Nabi s.a.w, berbuka sebelum sembahyang, dengan rutab (kurma tua), kalau tidak ada, dengan kurma, kalau tidak ada juga beliau minum beberapa teguk”. Riwayat Tirmidzi.[11]



 3.      Berdo’a sewaktu berbuka puasa.
Sabda Rosulullah s.a.w.:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا فْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَا ُوَاَبْتَلَتِ العُرُوقُ وَاُثْْبِتَ الاَجْرُاِنْ شَاءَاللهُ. رواه البخارى ومسلم
Dari Ibnu Umar: Rasulullah s.a.w. apabila berbuka puasa, beliau berdo’a: “Ya Allah karena Engkau saya puasa, dan dengan rizki pemberian Engkau saya berbuka, dahaga telah hilang, dan urat-urat telah minum, dan mudah-muahan ganjarannya ditetapkan”. Riwayat Daruquthni.[12]


 
4.      Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah kekuatan berpuasa.
Sabda Roasulullah s.a.w.:
عَنْ اَنَسِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوافَاِنَّ فِى السَّحُورِبَرْكَةً. رواه البخارى ومسلم
“Dari Anas, Rasulullah s.a.w. telah berbuka: “Makan sahurlah kamu, sesungguhnya makan sahur itu berkat (menguatkan badan menahan lapar karena puasa)”. Riwayat Bukhori dan Muslim.[13]


 5.      Menakhirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍّ قََالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتزَالَ اُمَّتِى بِخَيْرٍمَااَخَّرُواالسَّحُورَوَعَجَلُوا لِفَطَرَ. رواه احمد
“Dari Abu Zarr, Rasulullah s.a.w. telah berkata: “Senantiasa umatku dalam kebaikan selama mereka mentakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka”. Riwayat Ahmad.[14]


 6.      Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang puasa.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
مَنْ فَطَرَصَائِمًافَلَهُ اَجْرُصَائِمٍ وَلاَيَنْقُصُ مِنْ اَجْرِالصَائِمِ شَيْٸُ. رواه الترمذى
“Barang siapa member makanan  untuk berbuka bagi orang yang puasa, maka ia mendapat ganjaran sebanyak ganjaran orang yang puasa itu, tidak kurang sedikitpun”. Riwayat Tirmidzi.[15]


 7.      Hendaklah diperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
عَنْ اَنَسً قٍيْلَ يَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيُّ الصَدَقَةِ اَفْضَلُ قَالَ صَدَقََةٌ
 فِى رَمَضَانَ. رواه الترمذى
Dari Anas, ditanyakan orang kepada Rasulullah s.a.w.: “Apakah sedekah yang lebih baik?” Jawab Rasulullah s.a.w. “Sedekah yang paling baik ialah sedekah pada bulan Ramadhan”. Riwayat Tirmidzi.[16]


8.      Memperbanyak membaca Qur’an dan mempelajarinya, (belajar atau mengajar). Karena mengikut perbuatan Rasulullah s.a.w.[17]

2.7    Hikmah-Hikmah Puasa
Puasa memiliki banyak manfaat atau hikmah.Hikmah puasa mencangkup 3 aspek yaitu aspek rahani, aspek sosial, dan aspek kesehatan.
1)      Aspek Rahani
Hikmah puasa pada aspek ruhani adalah :
a.       Membiasakan sifat Sabar
b.      Mengajarkan dan membantu menjaga keseimbanagan jiwa
c.       Menimbulkan ketaqwaan dalam jiwa dan meningkatkannya
2)      Aspek sosial
Hikmah puasa pada aspek sosial adalah :
a.       Membiasakan umat untuk teratur
b.      Membiasakan umat untuk bersatu
c.       Mencintai keadilan dan kebersamaan
d.      Terbinanya perasaan lemah lembut, kasih sayang dan ihsan
3)      Aspek Kesehatan
a.       Membersihkan usus
b.      Memperbaiki lambung
c.       Mensterilkan badan dari zat-zat yang tidak bermanfaat dan membahayakan
d.      Meringankan badan dari kekegemukan
e.       Mengurangi lemak yang ada dalam perut[18]

 
BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Puasa adalah amalan ibadah yang berfungsi membelajaran kepada umat manusia untuk mengekang hawa nafsu sehingga manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya yang akhirnya mereka selamat dari dunia sampai akhirat.Di dalam puasa terdapat beberapa syarat dan rukun dalam melaksanakan ibadah puasa tersebut.

{KESIMPULAN BELUM SELESAI/ SELESAIKAN SENDIRI :D}



DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Pedoman Puasa. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra

As-Sadlan, Shalih bin Ghanim, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. 2007. Intisari Fiqih Islami (Lengkap dengan Jawaban Praktis atas Permasalahan Fiqih Sehari-Hari). Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta (eLBA)

Al-Zuhayly, Wahbah. 1995. Puasa dan Itikaf: Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Al-Zuhayly, Wahbah. Al-Fiqhu Al-Islami Waa Adillatuhu. Damaskus: Dar El-Fikr

Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis I: Menurut Al-Quran, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Karisma,

Mughniyah, Muhammad Jawad. 1996. Fiqih Lima Madzhab: Ja’far, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Jakarta: PT Lentera Basritama

Rasjid, Sulaiman. 1981. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah
Sabiq, Muhammad Sayyid..... Fiqih as Sunnah..... Darul Fath




[1]Shalih Bin Ghonim. 2007. Intisari Fiqh Islam. Surabaya. CV Fitrah Mandirui Sejahtera. Hal 104
[2]Wahbah Al-Zuhaily, Puasa dan Iktikaf. Bandung: Rosda Karya. Hal: 85
[3]Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami Waa Adillatuhu, Damaskus: Dar El-Fikr, cet. X, hal 566/II
[4]Muhammad Sayyid Sabiq…… Fiqh as Sunnah. ……. Darul fath.Hal. 401.
[5]Ibid. Muhammad Sayyid Sabiq.Hal. 414-417.
[6]Ibid. 410-413.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1981, cet. XVIII, hlm. 232.
[8]Ibid, hlm. 233.
[9]Ibid.
[10] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis I: Menurut Al-Quran, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008, cet. I, hlm. 354.
[11] H. Sulaiman Rasjid, loc. cit.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Ibid, hlm. 234.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Ibid.
[18]Shalih Bin Ghonim.Op.Cit. hal 105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar